![]() |
RM. Frans Magnis Suseno , Bersama Rm. Setyo Wibowo dan Fr.Dionisius Amadea |
Jakarta, Info Breaking News - Pemilu makin
dekat dan tinggal menghitung hari. Ada yang sudah menentukan pilihan untuk
memilih Jokowi maupun Prabowo, bahkan memilih untuk golput. Lalu apa pandangan
pada Jesuit terkait dengan memilih pemimpin? Sabtu, 30 Maret 2019 digelar
Sarasehan Ngopi Bareng Jesuit yang mengangkat tema “Memilih Pemimpin: Hak atau
Kewajiban?” di Sanggar Prathivi, Jakarta
Pusat.
Acara ini digelar oleh tim Promosi Panggilan Serikat Jesus (SJ) dan
menghadirkan 2 orang narasumber yakni Rm. Frans Magnis Suseno, SJ dan Rm. Setyo
Wibowo, SJ
serta di moderatori oleh Fr. Dionisius Amadea SJ.
Beberapa waktu
lalu publik sempat dihebohkan dengan pendapat Rm. Magnis soal sikap golongan
putih atau golput. Menurutnya, pemilih golput memiliki tiga kemungkinan sifat
yakni bodoh, berwatak benalu, atau secara mental tidak stabil (psycho-freak). "Saya merasa saya
keseleo memakai istilah itu. Sebetulnya saya tak mau menghina para golput, tapi
saya terkesima oleh kerennya kalimat itu. Dan saya rasa itu kesalahan dan
blunder yang besar. Tetapi pendapat saya mengenai
golput tak berubah" kata Rm. Magnis.
Mantan Guru
Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menilai tindakan golput merupakan
bentuk deligitmasi terhadap proses demokrasi yang saat ini berjalan di
Indonesia. Dengan memutuskan menjadi golput, ia mengatakan sesorang sama
artinya tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dengan Indonesia untuk
lima tahun mendatang. Ia sepakat bahwa dua calon yang tengah bersaing saat ini,
Joko Widodo dan Prabowo Subianto memiliki kelemahan masing-masing. Namun
setidak ideal apapun calon yang tersedia, tidak bisa dijadikan alasan untuk
menjadi golput. "Kalau begitu, sekurang-kurangnya
memastikan yang anda anggap paling buruk jangan terpilih. Dan itu logika
internal yang kuat," ujar Rm. Magnis.
![]() |
Rm. Setya Wibowo |
Kepada teman-teman yang cenderung abstain ini, kami mengingatkan bahwa kebebasan yang kita miliki sekarang ini adalah hasil perjuangan panjang. Maka ini harus dijaga, dengan cara terlibat. Maka mari kita datang ke TPS, kita tunjukkan keterlibatan kita, concern kita, dan juga cinta kita kepada kebebasan dengan terlibat aktif di pemilu,” jelas Rm. Setyo yang juga merupakan Kepala Program Studi Filsafat STF Driyarkara.
Di lain sisi,
Rm. Setyo coba memberikan perbandingan antara demokrasi yang terjadi di
Indonesia dengan demokrasi di negara barat. Secara institusi demokrasi di
Indonesia masih belum sekokoh di barat dan masih bergantung pada pemimpin yang
kita pilih. “Demokrasi Indonesia sudah memiliki banyak kemajuan, tetapi saya
selalu membandingkan begini, demokrasi di barat itu sudah mantap ibarat mobil
Mercy. Siapapun supirnya, contohnya di Amerika Serikat terpilih Trump, kalau
mobil itu terbalik penumpangnya masih selamat. Tetapi demokrasi di Indonesia
ini perumpaan saya seperti bajaj. Kita sangat bergantung pada supir, dan kalau
supirnya tidak bagus, bajaj itu terjungkal, kita runyam semuanya,” pungkasnya.*** Vincent.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !