![]() |
Jakarta, Info Breaking News –
Tak dianggap serius dan merasa profesinya dilecehkan, advokat senior Alexius
Tantrajaya menggugat Pemerintah Indonesia (presiden) dan sembilan lembaga
negara ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Alexius menuntut ganti rugi
sebesar Rp 1,1 miliar terhadap sejumlah pihak, di antaranya Pemerintah
Indonesia (presiden), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas, Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri,
Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal
Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, dan Ketua
Ombudsman selaku turut tergugat.
“Saya gugat ganti rugi
sebesar Rp 1,1 miliar, baik sendiri-sendiri maupun patungan. Harus dibayar
tunai, nggak dicicil,” tuturnya
kepada awak media di gedung PN Jakpus, baru-baru ini.
Gugatan yang dilayangkan
pada tanggal 2 April 2019 tersebut rencana akan mulai dipersidangkan pada hari
ini, Selasa (30/4/2019) oleh Majelis Hakim PN Jakpus yang diketuai Purwanto.
Alexius menjelaskan alasan
dirinya mengajukan gugatan tersebut tidak lain karena kesabarannya telah habis.
Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya
menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,”
katanya.
Para tergugat, lanjut
Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1
ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjaminsemua warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,”
ujarnya memapar isi pasal dimaksud.
Berdasarkan Undang-Undang,
para tergugat seharusnya wajib memberi perlindungan hukum kepada kliennya, Ny.
Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya. Tapi nyatanya hal
tersebut hanya isapan jempol belaka.
Sejumlah surat permohonan
perlindungan hukum yang diajukan kepada para tergugat pun hanya teronggok
begitu saja dan diabaikan selama rentang waktu 10 tahun lebih, tepatnya sejak
tahun 2008 silam.
“Baik kepada presiden, kami
juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut, yang intinya
meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon
surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami
menggantung. Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih, di mana laporan
pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius.
Sebagai advokat, katanya,
dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum
kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU
Advokat No. 18 Tahun 2003.
“Tapi sebagai penegak hukum,
saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah
mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka.
Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar
jika saya menggugat,” tuturnya.
Masalah
Warisan
Kejadian ini sebenarnya
bermula terkait dengan warisan peninggalan mendiang suami Ny. Maria, Denianto
Wirawardhana, yang akan dikuasai oleh keluarga almarhum. Padahal yang berhak
atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta
seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana
sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.
“Perkara klien kami
mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Maria Magdalena melapor pada tahun 2008,
hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, sudah 10 tahun lebih laporan
klien kami digantung. Tidak jelas alasannya seperti apa,” jelasnya.
Ditegaskan, sesuai Pasal 78
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana di atas 3 tahun lebih
masa kadaluarsa perkaranya 12 tahun. Berarti tenggang waktu proses hukum kliennya
hanya tersisa setahun empat bulan ke depan.
“Jika polisi belum juga
memproses, berarti laporan klien kami tahun depan sudah hangus. Apakah itu yang
diharapkan polisi untuk kasus klien kami? Jika benar, rasa keadilan seorang
rakyat bernama Maria Magdalena telah dicabik-cabik. Hak keadilannya telah
diperkosa,” tegas Alexius.
![]() |
Surat panggilan sidang yang ditujukan kepada advokat Alexius Tantrawijaya dan para tergugat termasuk di dalamnya Presiden RI |
Dalam konteks perkara Maria,
Alexius menilai polisi telah bersikap diskriminatif. Hal ini bisa dibuktikan,
yakni terkait laporan keluarga almarhum Denianto Wirawardhana terhadap kliennya
di Polda Metro Jaya pada 16 Nopember 2007, dengan tuduhan Maria Magdalena
menguasai warisan almarhum secara sepihak.
“Dalam waktu singkat,
laporan keluarga almarhum diproses Polda Metro Jaya, No.Pol.: LP/4774/K/XI/2007/SPK
UNIT “1” tersebut, dan oleh kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan. Maria
dijadikan terdakwa. Tapi Tuhan adil, pengadilan menyatakan Maria Magdalena
tidak bersalah. Klien kami bebas dari tuntutan hukum,” jelas Alexius.
Setahun kemudian, lanjutnya,
pada 8 Agustus 2008 kliennya melaporkan keluarga almarhum suaminya ke Mabes
Polri dengan laporan No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, perihal dugaan
keterangan palsu. Mereka yang dilaporkan di antaranya Lim Kwang Yauw, Kustiadi
Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi
Suwandinata.
Para terlapor itu, jelasnya,
pada 11 Januari 2008 diketahui membuat akta keterangan waris pada Notaris
Rohana Frieta yang isinya disebutkan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana tidak
pernah menikah, tidak pernah mengadopsi anak, dan tidak pernah mengakui anak di
luar nikah.
Ny. Maria pun menilai keterangan
tersebut adalah palsu dan tidak dapat dibenarkan. Sebab, dari pernikahan dengan
almarhum Denianto Wirawardhana, Maria Magdalena melahirkan dua anak, Randy
William dan Cindy William. Kesemuanya itu juga tercatat secara jelas di kartu
keluarga, buku lahir dan akta kelahiran sehingga secara hukum tidak bisa
terbantahkan.
“Bahkan, sebelumnya,
almarhum pernah menikah dengan wanita Jerman, Gabriela Gerda Elfriede. Punya
satu anak, Thomas Wirawardhana. Mereka menetap di Jerman. Sedangkan pernikahan
dengan Maria Magdalena dikaruniai dua anak, yaitu Randy William dan Cindy
William,” katanya.
Perlu juga diketahui,
tambahnya, ketika Thomas Wirawardhana masih kecil, pengadilan Jerman sudah
menjatuhkan putusan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana harus memberikan biaya
hidup anaknya itu. Hal itu jika dikaitkan dengan harta benda peninggalan
almarhum, maka secara hukum Thomas adalah ahli waris yang sah.
Bermacam cara sudah dijalani
Alexius demi sang klien namun sangat disayangkan ternyata proses penanganan
laporan pidana kliennya itu sangat berliku-liku bahkan terkesan sengaja dibuat
mondar-mandir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai
kewibawaan penegak hukum.
Yang lebih memilukan lagi
adalah bagaimana keluarga almarhum
Denianto Wirawardhana dengan segala kepalsuannya berhasil merampas dua unit
Ruko dan uang tunai (tabungan) senilai Rp 9,6 miliar yang disimpan di bank.
“Yang saya sesali, sikap
diskriminasi polisi terhadap Maria, warga Negara Indonesia yang semestinya
mendapat perlindungan hukum, seolah-olah dibiarkan oleh presiden dan lembaga
negara lainnya. Padahal kasusnya itu sudah saya jelaskan panjang lebar dalam
surat permohonan perlindungan hukum. Hasilnya tak ada. Wajar jika saya kesal,
dan mengajukan gugatan,” pungkas Alexius. ***Emil Simatupang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !