Jakarta, Info Breaking News - “Pemilu
paling rumit, paling berbahaya, pemilu yang paling mengancam, dan diprediksi
akan berdarah-darah dalam sejarah kita adalah pemilu 1999. Pemilunya
dipercepat, KPU nya diisi oleh perwakilan 48 partai sehingga mengambil
keputusan tidak bisa. Akibatnya hasil pemilu 1999 yang memutuskan Presiden.
Namun demikian berjalan lancar saja kok. Jadi pada 17 April Insya Allah lancar.
Kalau kita ini ributnya memang sebelum dan nanti sesudahnya begitu lagi.”
Itulah pendapat Guru Besar FH UI Prof. Jimly Asshiddiqie ketika berbicara mengenai
pemilu seretak 2019 di sela-sela Seminar Nasional dengan tema Hukum Tata Negara
Darurat dalam Kondisi Kebencanaan pada Senin 15 April 2019 di Balai Sidang
Djokosoetono, FH UI, Depok. Seminar ini diselenggarakan oleh Bidang Studi Hukum
Tata Negara FH UI bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.
Selain Prof. Jimly Asshiddiqie, hadir pula sebagai pembicara yakni Ahli
Kebencanaan Heru Susetyo, Perwakilan Aliansi Masyarakat Untuk Penguatan UU
Penanggulangan Bencana Untung Tri Winarso, dan Dosen HTN FH UI Qurrata Ayuni.
Bahasan
terkait pemilu menjadi relevan karena banyak pihak yang khawatir akan terjadi
instabilitas sosial politik akibat pemilu serentak 2019. “Saya sudah berulang
kali katakan, ketua KPU dalam posisi saat ini adalah kepala negara Republik
Indonesia dalam urusan pemilu. Jadi dia harus tampil, gagah begitu. Jangan
sampai menimbulkan ketidakpercayaan. Apalagi orang kaya Amien Rais sudah
ngomong people power.
Sesudah dibuat
MK, maksudnya adalah semua perselisihan mengenai hasil pemilu harus kita
pindahkan dari jalanan ke ruang sidang. Maka MK diberi kewenangan memutus
perselisihan tentang hasil pemilu, sedangkan perselisihan mengenai proses
dibawa ke Bawaslu. Sudah disiapkan tempat beradab, supaya tidak bakar ban di
jalan,” ujar mantan Ketua MK ini.
Hal ini disebabkan karena di permukaan tanah Indonesia paling banyak gunung berapi nya dan di bawah lautnya paling banyak patahan. Ini menjadi indikator bahwa alam Indonesia sangat “ringkih”. “Inilah yang harus disadari oleh semua disiplin ilmu, termasuk pula di bidang hukum. Hukum itu ada 2 macam, hukum dalam keadaan normal dan hukum dalam keadaan darurat. Kalau hukum keadaan normal diterapkan untuk keadaan darurat, tidak ada keadilan. Begitu juga sebaliknya,” kata Prof. Jimly Asshiddiqie.
Ketika terjadi bencana di Aceh, NTB, maupun Palu terjadi perdebatan politik apakah harus ditetapkan sebagai keadaan darurat nasional atau tidak. Pemerintah berdalih jika ditetapkan sebagai keadaan darurat nasional akan mengganggu perekonomian dan pariwisata. “Ini keliru. Masih banyak yang belum paham soal hukum tata negara darurat.
Menurut UU No 24 Tahun 2007 pemberlakuan keadaan darurat itu kalau terjadi di kabupaten oleh Bupati, kalau di provinsi oleh Gubernur, kalau antar provinsi baru oleh Presiden. Ini kok dikaitkan dengan desentralisasi. Karena ini persoalan serius, harus kepala negara (Presiden) yang menetapkan. Karena Presiden adalah kepala negara hukum. Hanya dia yang punya otoritas mengubah karakter hukum dari keadaan normal menjadi darurat, dan sebaliknya,” ungkap Prof. Jimly Asshiddiqie seraya berharap para praktisi dan akademisi hukum dapat memahami hukum tata negara darurat.*** Vincent.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !